Ku langkahkan kaki ini, menyusuri hamparan rumput menghijau yang cukup luas di samping Mesjid Nuril Huda. Suasana sekitar seakan sunyi mencekam, dan suara semilir angin yang menerpa wajahku, membuat kaki ini serasa ingin berhenti. Tapi…kaki ini terus saja melangkah, seolah-olah aku tak kuasa untuk menolak semuanya. Kakiku terus saja melangkah, terus dan terus, sampai pada akhirnya ku berada di depan suffah mesjid. Sepi, tak ada seorangpun yang dapat ku sapa ataupun menyapaku, yang ada hanya…suara cicit burung Pipit yang terus saja bernyanyi seakan ingin mengisi kesunyian waktu itu. Lama ku menunggu kehadirannya. Bukankah ia telah berjanji bahwa kami akan bertemu di sini. Namun…ia tak kunjung datang menemuiku. Banjarmasin, 09 Nopember 2012 “Fatina…ada undangan buat kamu, nich baca aja!!” Sodor Rahma teman satu kontrakanku. Akupun membuka undangan itu, dan di sana tertulis kalimat bahagia yang membuat aku melompat kegirangan dari atas tempat tidurku. “Lho, lho Fatina. Eling atu eling!” Sergah Rahma yang berusaha menyadarkanku dengan tingkah konyol ini. “Ada apa atu neng, kelihatannya senang pisan eui?” Tanyanya dengan nada menggoda. “Hasna Ma. Hasna. Satu bulan lagi bakal merried…!!!” Teriakku dengan girangnya, sambil menyodorkan undangan berwarna merah muda ke arahnya. “Fatina…Fatina. Hasna yang merried kok malah kamu yang seneng???” Gerutunya sambil geleng=geleng kepala tanda tak mengerti. Akhirnya, Rahmapun meninggalkanku yang dari tadi tengah sibuk mengulang-ulang membaca isi undangan itu. Mungkin benar juga yang dibilang Rahma barusan, yang married siapa, eh yang seneng malah aku. Tapi… bukankah aku turut berbhagia dengan pernikahan Hasna, secara Hasna juga sahabat aku. Jadi, so what Gitu loch??? Tu juga kata saykoji. Kini akupun tengah sibuk mengemasi pakaian dan beberapa keperluan aku selama aku di perjalanan nanti. Maklum Hasnakan marriednya di Bali kota wisata sementara aku masih di Kal-Sel tepatnya di sebuah kontrakan kecil yang terletak di Jl. Melati. Jadi, aku mesti go to Bali dulu baru bisa ke pernikahan Hasna Mardhiyah. “Fatina, kamu ada acara ndak? Kita pergi ke Duta Mall (DM) yuk! Katanya sih ada pameran barang-barang elektronik terbaru, termurah, dan tercanggih di lantai 2 DM.” Tanya Rahma yang dari tadi terus mengoceh di luar. Tapi, karena kelelahan habis beres-beres akupun tak mengindahkannya sampai-sampai aku nyaris terlelap. “Fatina kamu dengar ndak sih?” Tanya Rahma yang lagi gemes bin sebel sama aku. “Ya ampyun Fatina…jadi dari tadi kamu te mo…lor…? He…Fatina bangun,,,!” Rajuknya, sambil mengambil guling dan melemparnya tepat mengenai wajahku. “Au…sakit tau…!!”Rajukku sambil mengelus-elus kedua pipiku yang gak sakit “Biarin! Habis kamunya aku ngomong eh…malah molor.” Rajuknya sambil terus manyun-manyun di hadapanku. “Emang, kamu udah bikin janji dulu sama aku?!” Tanyaku balik. Sambil menggerak-gerakkan kedua alisku. “Kamu tu ya, dari dulu ndak berubah-ubah.” “Ya iya lah. Kalau berubah bukan Fatina lagi dong namanya tapi…Power Ranger. Berubah!” Jawabku menimpali. Sambil meniru-niru gaya Power Ranger waktu mau berubah. “Iya, iya. Afwan jiddan ya Ukh! Sebagai gantinya, aku traktir deh makan-makan di DM, tapi di tempatnya Paman Sutar ya!” Rayuku. “Kalau mau traktir, jangan setengah-tengah dong. Masak traktir di tempatnya Paman Sutar?” “Ye…kan tempatnya Paman Sutar di DM juga, alias di Dekat Mall.” Jawabku asal, sambil senyum-senyum. “Hu…!” Akhirnya kamipun malam itu, tepatnya sehabis Isya, jadi juga pergi ke DM. Sesampainya kami di sana Rahmapun langsung menuju lantai 2 melihat-lihat barang-barang elektronik yang tengah dipamerkan.. Sementara aku langsung menuju beberapa tempat yang menjual berbagai aksesoris dan keperluan muslimah lainnya, siapa tahu kado untuk Hasna ketemu di sini. “Yach bingung deh, banyak yang bagus tapi…harganya juga bagus-bagus.” Gerutuku “Gimana, udah ketemu yang kamu cari?” Tanya Rahma yang ternyata dari tadi udah berada di belakangku. “Kamu?” Tanyaku balik “Ya…apalagi aku! Emang seh semuanya kualitas nomor wahid dan model baru getu, tapi…ku hitung-hitung kalau aku jadi beli berarti…aku mesti puasanya Nabi Daud dong, belum lagi bayar tagihan air dan listrik, terus tagihan Koran, ditambah tabungan aku buat kontrakan kita. Emang, kriteria murah itu diukur dari apa seh?” Tanyanya sambil garuk-garuk kepalanya yang gak gatal. “Yang jelas bukan dari isi kantong kamu…” Jawabku cuek sambil derlalu dari hadapannya Yach dari pada bingung mending kami cabut deh… 1 bulan Menjelang Pernikahan Hari yang dinantipun tiba dan kini kakiku berpijak di sebuah halaman rumah, di depan pintu terdapat 2 buah patung berkepala naga, Disamping pekarangan, ada sebuah tempat yang dipenuhi oleh bunga-bunga dan dari sini tercium aroma dupa yang sangat menyegat. Lama aku menatap sekeliling, tanpa sadar kalau disampingku tengah berdiri sesosok wanita muda. “Kakak Fatina az-Zahra?” Sapanya, sambil tersenyum manis menatapku. Aku yang ditanya, hanya bisa mengangguk pelan. “Maaf ya mbak kita belum kenalan. Aku Zein adiknya Mbak Gusti. Ikut aku ya mbak!” Pintanya, sambil menggapai tanganku. Gusti adalah nama panggilan untuk Hasna. Zeinpun mengantarku ke sebuah pondok di pinggir danau. Memang sih pemandangan sekeliling menyejukkan, tapi… bau menyan dan dupa masih saja tercium belum lagi patung-patung dan pohon-pohon besar yang memberikan kesan angker membuat bulu kudukku berdiri. “Hah…” Helaku, menghirup hawa segar pegunungan “sebenarnya Hasna maaf maksud saya Gusti lagi di mana ya? Kok dari tadi gak keliatan.” Tanyaku membuka percakapan . Namun, yang ditanya hanya geleng kepala. Iapun kemudian melangkah mendekati jendela. Matanya lurus menatap pemandangan di luar sana dari balik jendela. Hingga pada akhirnya ia mulai angkat bicara. Sebenarnya, beberapa minggu yang lalu mbak Gusti pergi dari rumah, semua terjadi semenjak Mbak Gusti mulai pergi dengan seorang wanita. Hening. “Wanita itu selalu mengenakan shalwar kameez dan dupatta yang ia selendangkan menutupi dadanya, seperti wanita India-Pakistan pada umumnya. Seperti pakaian yang kami kenakan. Meski penampilannya dan tutur katanya sopan, entah kenapa aku menaruh curiga padanya, terlebih semenjak aku memergokinya bersama mbak Gusti di sebuah café, saat aku hendak mendekati mereka, mereka keburu pergi menaiki sedan berwarna hitam untuk pergi ke suatu tempat.” Hening. “Heh, dunia ini rumit ya mbak. Baru aja aku tertawa dan bercanda dengan mbak Gusti di tempat ini, tapi dalam waktu yang singkat mbak Gusti udah pergi. Ya…semenjak kepergian mbak Gusti, aku lebih sering berada di sini, berharap kalau suatu saat mbak Gusti kembali dan mengingat bahwa aku selalu setia di sini menunggunya, yach paling tidak masih setia mengagumi semua hasil karyanya.” Jawabnya, sambil memandangi beberapa lukisan yang terpampang di dinding kamar. “Ya kamu benar. Dari dulu sampai sekarang aku juga masih kagum dengan hasil karyanya. Lukisannya gak kalah dengan Affandi, Basoeki Abdullah, dan pelukis hebat lainnya.” Celotehku, berusaha mencairkan suasana. Namun sayang, Zein hanya bisa terdiam dan perlahan iapun bangkit dan berlalu dari hadapanku. Tepat Sehabis Isya Terdengar bunyi deru motor yang kemudian berhenti di pekarangan depan pondok. Tin tin… Akupun memberanikan diri membuka gorden dan mengintipdi balik jendela untuk mengetahui siapa gerangan yang tengah iseng membunyikan klakson malam-malam. ‘Lho kok. Ada motor tapi gak ada orangnya ya??’ Pikirku. Seketika bulu kudukku pun berdiri. Hawa dingin malam itu semakin menusuk sendi-sendi tulangku. Lamat-lamat ku dengar suara langkah kaki yang semakin dekat ke arah pintu kamar. Gretak gretak bletak. Kriek…. Bunyi daun pintu yang dibuka paksa oleh seseorang. Badanku gemetar, sekujur tubuhku dipenuhi dengan keringat dingin, mulutkupun komat kamit memohon perlindungan Allah SWT. “Waduh mbak, kayaknya pintu ini perlu diperbaiki deh! Makanya mesti Zein paksa dulu baru kebuka.” Komentar seseorang dari arah belakang. “Pyuh…!” Helaku Akhirnya akupun segera memalingkan badanku. Di sana ku dapati Zein yang tengah mengotak-atik gagang pintu yang sudah agak karatan. “Lho mbak Fatina kok keringetan… Padahal di sini udaranya dingin lho mbak.” Komentarnya heran, sambil memandangi badanku yang bersimbah keringat. “Oh eh…e…” akupun gagap, entah alasan apa yang harus ku katakana, mau bilang kalau aku takut, malu. Tapi…mau bohong takut dosa. Gimana nih…. “Mbak Fatina ganti baju dulu deh! Aku tunggu di luar ya. Pokoknya mbak ikut aja, OK!” Pintanya Akhirnya kamipun melaju menaiki kuda besi milik Zein. Kuda besi itu melaju dengan lincahnya memasuki gang-gang kecil, jalanan berbatu dan penuh lubang di kanan kirinya. Terkadang tubuhku harus terguncang hebat akibat lubang besar yang tengah menghadang kami. Beberapa menit kemudian kamipun memasuki jalanan raya. Kuda besipun dapat berlari kencang tanpa hambatansedikitpun karena suasana jalan raya agak lengang malam itu. Kuda besipun berhenti di sebuah café yang terletak gak jauh dari pusat perbelanjaan. Kamipun mengambil tempat di dekat jendela. Jendela itu berhadapan dengan sebuah bar yang penuh dengan pengunjung. Cowoknya ada yang mengenakan jas lengkap dengan dasinya. Ada juga yang hanya mengenakan jeans bolong dengan kaos tanpa lengan, ada lagi tampang dan dandanan yang mirip dengan King of Pop MJ maksudnya Michael Jackson gitchu bukan Mas Johntralala. Kalau cewknya gak perlu dijelasin dech pokoknya fulgar abiz. Seorang pelayan Café menghampiri kami. Setelah ia selesai mencatat pesanan iapun berlalu. Café ini bernuansa klasik. Persis Eropa abad pertengahan. Ditambah dengan pakaian pelayan dan beberapa koki yang mengenakan baju abad pertengahan meskipun sedikit di modernisasi. Apa lagi di sudut kanan ruangan tengah berdiri Ksatria Baja Putih dan di dinding Nampak lukisan kota tua Rothenburg ob der Tauber di Jerman terlihat dari lukisan gereja antic dan bangunan kuno dengan rangka kayu bersilangnya. Kemudian, di dinding sisi kirinya Nampak pahatan para archers dan swordsmannya. Pelayan itupun kembali menyuguhkan beberapa hidangan pesanan kami dan berlalu dari hadapan kami. “Mbak, kok mbak bengong sih?” “Enggak kok, aku cuman kagum aja dengan arsitektur café ini. Oh iya, maaf ya dek kita kesini mau ngapain ya?” Selidikku Tapi ia cuan terdiam. Tangannya terus mengaduk-aduk secangkir cappuccino yang ada di depannya. Kuperhatikan, sepertinya ia tengah gelisah. “Dek, kamu baik-baik aja kan?” Tanyaku khawatir. Dibalas dengan anggukan pelan darinya. Hingga iapun mulai bercerita. “Café ini adalah tempat pertemuan mbak Gusti dengan wanita itu.” “Jadi…!!” “Setelah pergi dengannya. Mbak Gusti urung meninggalkan kamarnya. Bahkan saat Peter dating bertamu, ia hanya diam. Seakan tidak perduli dengan sekitar. Sampai pada akhirnya, mbak Gusti meminta agar pernikahan itu dibatalkan. Mendengar hal itu, mama syok berat. Sementara Peter, wajahnya menjadi dingin dan tanpa berkata apapun ia pergi meninggalkan rumah, tapi…kediamannya justru membuat aku dan mama merasa bersalah sekaligus takut, kalau-kalau Peter berbuat jahat pada kami terutama mabak Gusti.” “Malam itu, aku, mama, dan seluruh penghuni rumah diliputi perasaan yang galau. Marah, bingung, dan…semuanya membuat kami terus terjaga. Sampai tak terasa pagipun datang menjelma.” “Lalu, bagaimana dengan mbakmu??” Selidikku “Pagi itu kami baru sadar, kalau…mbak Gusti sudah gak ada disekitar kami. Saat aku mencek ke kamarnya, mbak Gusti udah pergi dan meninggalkan sepucuk surat.” Hening. Zeguarrrr… Suara ledakan hebat yang berasal dari arah diskotik, membuat kami terpental jauh dari lokasi kejadian. Kulihat Zein, ia berada disampingku dengan keadaan yang sangat menyedihkan, tubuhnya bersimbah darah. Aku terus teriak memanggilnya, namun ia tak sedikitpun bergeming. Sekuat tenaga ku arahkan tubuhku kea rah asal ledakan, lamat-lamat ku lihat kepulan asap hitam tebal, kerumunan orang-orang, dan terakhir ku dengar isak tangis seorang bocah kecil yang berada di balik reruntuhan bangunan. Hingga pada akhirnya akupun tak sadarkan diri. Di sebuah Rumah Sakit Umum, tepat pukul 8 pagi. “Sobahunnur Fatina. Akhirnya kamu bangun juga. Udah seminggu lo kamu pingsan. Nih, aku bawakan bubur ayam kesukaanmu.” Rahmapun menyodorkan semangkuk bubur ayam yang masih panas ke arahku. “Udah kamu rebahan aja, biar aku yang suapin yah!” Cegahnya, sambil menyodorkan satu sendok bubur ke mulutku. “Bagaimana kamu bisa…?” “Akukan sahabat kamu, gak mungkin dong kalau aku gak kesini waktu aku lihat nama kamu termasuk dalam daftar korban ledakan itu. Tapi sayangnya, belum sempat ketemu kau eh di bandara aku malah dicegat ama Polisi yang menginterogasi aku dan barang bawaan aku. Kenapa ya, setiap ada kasus pengeboman selalu aja muslim yang di curigain. Padahal itu semuakan cuman isyu yang pengen bikin kita phobia alias takut ama Islam. Benerkan?!” Rajuknya. Tapi aneh bin ajaib, seluruh penghuni kamarpun spontan mengangguk-anggukkan kepala mereka tanda setuju. “Syukron ya Ukh!” Tapi Rahma hanya tersenyum tipis “Kenapa?” Tanyaku khawatir “Aku baru aja mendengar berita hari ini. Polisi udah menemukan ciri-ciri peneror itu dari sebuah rekaman video, dan…” “dan apa?” Desakku “Dari rekaman video itu terlihat jelas pelakunya mengenakan Burka” “Burka? Maksud kamu dia wanita?” “Ndak jelas, wong aku cuman denger kok. Tapi, lagi-lagi muslim yang jadi sasaran.” “Oh ya. Dokter bilang besok kamu udah boleh pulang lo. Jadi kita pulang aja yah! Please…!” Ajaknya “Afwan Ma, aku gak bisa pulang sekarang sebelum aku bisa ketemu dengan Hasna dan memastikan kalau dia baik-baik aja.” “Ma kok ada bunga Lili putih di sini?” Tiba-tiba mataku menangkapserangkaian Lili putih yang tertata indah di atas meja samping tempat tidurku. “Ndak tahu.” Jawabnya sambil mengangkat ke dua tangannya. “Apa mungkin itu Hasna Ma? Bukankah yang tahu aku suka bunga Lili putih cuman dia” Selidikku. Bayangan Hasna pun berkelebat memenuhi ruang pikirku. Malamnya, aku sengaja gak minum obat pemberian Dokter agar aku bisa bertemu dengan wanita itu. Jantungku berdegup dengan irama yang khas dag dig dug zes mirip dengan simfoni nada drum, hi hi hi lucu juga. Tak tik tuk bunyi jarum jam dari ruang penjaga. Kira-kira sekarang sudah pukul 2 malam. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh suara langkah kaki yang berasal dari luar sana. Samar kku melihat bayangan seseorang dari balik jendela kamar. Tiba-tiba pintu ruangan di buka oleh seseorang, suara langkah kaki itupun semakin jelas. Aku yang dari tadi pura-pura tidur mencoba memicingkan mataku, wajahnya gak jelas karena tertutup oleh selendang yang ia kenakan. Setelah meletakkan rangkaian bunga di atas meja, iapun kemudian mencium keningku. Secepat kilat ku raih lngannya dan… “Hasna!” Sergahku. Wanita itu terperangah mendengar ucapanku “Itu kamu kan sahabatku!?” “Apa yang terjadi denganmu?” Pekikku. Namun yang ku dapat hanyalah kebisuan. “Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk melukaimu. Hanya saja…peristiwa naas itu justru menimpamu, Zein, dan juga mama. Mungkin ini sudah menjadi karmaku, sekalipun semua berada di luar kendaliku. Aku tidak ingin menjadi boneka. Aku ingin lepas, bebas. Fatina, Cuma kamu satu-satunya yang aku miliki di dunia ini. Aku mohon maafin aku!” Pelasnya “Jangan bilang kalau wanita di balik burka itu kamu?” Selidikku. Tapi Hasna hanya mengangguk pelan. “Apa maksud kamu??? Apa kamu ingin berjihad dan apa harus dengan cara seperti ini mengorbankan nyawa orang-orang yang gak berdosa? Gak! Itu bukan jihad Na. Itu adalah kesalahan besar. Allah dan Rasulnya gak pernah mengajarkan kekejaman seperti itu.” Ucapku lirih. “Kamu benar!” Jawabnya dingin. “Cerita kamu benar tentang muslim Pakistan dan Shalawar Kameeznya. Tentang propaganda yang mereka hembuskan kepada para muslim Pakistan. Hingga sedikit demi sedikit kami mulai menjauh dari jati diri kami sebagai seorang muslimah. Tanpa sadar kamipun terjerat dan masuk dalam labirin yang mereka buat.” Kalimatnya pun terhenti. “Kenapa Has, kenapa?” Pekikku Hening. “Kenapa” Tanyanya balik. “Kamu lihat aku Fatina! Kamu lihat! Apa aku tega melakukannya dan apa aku sekeji itu ha?!” “Iya, tapi…” “Aku bodoh! Hingga aku tak pernah memperdulikan semua perdebatan kita tentang Islam dan tentang propaganda mereka yang bak madu berisi racun. Manis api mematikan!” Komentarnya dingin “Hasna, apa ini ada hubungannya dengan Peter?” “Heh. Bajingan itu!” Desahnya “Maksudmu?” Selidikku lagi “Dia adalah dalang di balik rencana jahat ini.” Jawabnya dingin “Peter, seorang pria tampan, sholeh dan sangat peka dan perduli dengan kondisi kaum muslim itu ternyata adalah anggota jaringan misionaris dengan berkedok sebagai seorang muslim yang taat. Justru sebaliknya, dia beserta ketiga orang temannya justru telah menodai aku. Aku terpukul, terlebih setelah aku mengetahui aku tengah hamil karenanya. Aku terpaksa menerima pinangannya. Tapi justru semakin hari aku membenci diriku, kepolosanku. Aku membenci peci, serta atribut muslim yang ia kenakan. Di tengah keterpurukan, aku bertemu dengan seorang wanita muda. Dia mengaku bahwa ia juga keturunan muslim Pakistan. Mungkin karena penampilannya yang elegan dan tuturnya yang lembut, membuatku merasa nyaman di dekatnya dan mencurahkan semua masalahku padanya. Hingga, tanpa curiga sedikitpun aku bergabung dengannya. Kehidupanku dengannya sangat jauh berbeda dengan hidupku yang dulu. Darinya aku mengenal arti kebebasan . Darinya aku belajar tentang keberanian dan keteguhan. Sedikit demi sedikit, pemikiranku mulai tergerus. Hingga aku dipercayakan untuk melakukan aksi pembumi hangusan musuh-musuh Islam, yang tanpa sadar itu artinya aku tengah menghancurkan muslim itu sendiri. Sampai suatu ketika, aku mencuri dengar pembicaraannya dengan seorang pria. Pria itu ternyata adalah Peter,orang yang telah menghancurkan hidupku. Dari sanalah aku baru mengetahui, bahwa Peter adalah dalang dari semua peristiwa yang aku alami.” Hening. “Tanpa aku sadari ia menyadari kehadiranku. Aku ingin lari, namun…aku terjerembab hingga jatuh kembali dalam genggamannya. Ia menjadikan Zein dan mama sebagai alat untuk memperdayaku. Tapi ternyata apa, ia justru telah menghabisi seluruh keluargaku.” Kalimatnyapun terhenti. Sejenak ia menyeka ke dua pipinya yang telah basah oleh air mata. “Aku bodoh. Sa..ngat bodoh. Aku hanya bisa lari dari kenyataan bahwa tanganku sendiri yang telah membunuh orang-orang yang aku sayang. Aku menangis, tapi dia…Dia tertawa puas, menertawakan keberhasilannya yang telah menorehkan sejuta luka di hatiku.” Kalimatnya kembali terhenti menahan amarah. “Biadab. Dialah serigala buas berbulu domba. Dialah yang seharusnya bertanggung jawab atas peristiwa ini, bukan aku dan kita…! Aku benci dia Na! Sangat..!” Pekiknya. Namun, kelamnya malam seakan menelan rintihan jiwanya, hingga hanya kebisuan yang kami dapat. “Kamu benar Na, semua ceritamu benar. Aku ingin berubah. Tapi…” Belum selesai ia berkata, iapun berlalu dari hadapanku. “Tunggu, kamu gak boleh pergi Na…!!! Aku pasti bantu kamu…” Sergahku. Tapi ia terus berjalan tanpa mengindahkanku. Aku berusaha bangkit, tapi justru aku terjatuh. “Hasna” Pekikku. Namun, kesunyian seakan menelan semua rasa. Selamat tinggal Sahabat. Aku yakin suatu saat kebenaran pasti akan terungkap dan cahaya kemuliaan itu akan seger kita raih karena itu janji Allah SWT. Tapi, hanya beberapa detik ia meninggalkan tempat ini, terdengar suara kerumunan orang yang menemukan sesosok mayat
tengah tergeletak di depan pintu ruangan ini. Dari pembicaraan yang ku dengar, wanita itu mengenakan selendang sutera dan pakaia muslimah yang biasa ku kenal shalwar kameez.[*]
Karya : *4ziz4h 4l-K4r1m4h
* Catatan :
1. Shalwar Kameez (celana dan jubah ketat di badan dengan lengan pendek atau tidak berlengan –biasa dipakai perempuan Pakistan)
2. Dupatta (kerudung tipis atau transparan, yang dikenakan untuk menutupi bagian belakang kepala atau hanya sebagai selendang)
3. Archers (pasukan memanah)
4. Swordsman (ksatria berpedang)
5. Burka (pakaian muslimah terdiri atas jubah-kerudung-cadar sebagai satu kesatuan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar