YANG TERCIPTA UNTUKMU
(part
3)
Dalam perjalanan menuju tempat Ustadz Feri, Angga berhenti
di sebuah tempat yang biasa ia gunakan untuk menenangkan diri. Tempat itu
berdekatan dengan sebuah mesjid yang di bangun oleh Ustadz Feri dan
teman-temannya. Malam kian larut, Angga masih duduk termenung sambil sesekali kepalanya
tengadah menatap langit penuh bintang. Terkadang ia tersenyum kemudian terdiam.
Sepintas ia melihat wajah sesosok gadis yang sempat singgah mengisi separuh
jiwanya. Gadis itu tidak cantik, sorot matanyapun terlihat sayu, meski ia
tertawa ataupun tengah bercanda dengan teman-temannya. Dibalik senyum dan
tawanya menyimpan banyak misteri, misteri tentang hidup yang tengah ia jalani,
karena mata itu takkan bisa berbohong padanya. Baginya hanya ketegaran yang
tergambar dari sorot matanya. Mungkin itulah yang membuat ia mengaguminya. Tapi
sayang, gadis itu pergi, pergi dengan membawa sejuta tanda Tanya bagi dirinya.
Semenjak itu, ia membencinya, entah atas dasar apa? Penolakan, pengkhianatan,
kekecewaan atau…? Entah, rasa itu terus berkecamuk.
‘Mungkin ini tak adil baginya dan juga bagiku. Sampai saat
ini, semua teka-teki ini terus mengusik benakku. Mungkinkah ia setega itu atau
ini hanya sebuah kesalahpahaman atas keegoisan cinta. Cinta yang terlalu dalam,
hingga cinta itu kini berselimut nafsu, dan membuatku sulit untuk melepasnya.’
Batinnya.
“Memang cinta terkadang membuat manusia buta. Love is Blend, begitukan Angga.” Kata
sesosok pria dari arah belakang.
“Ustadz Feri.” Sapanya
“Matahari terbenam itu indah, meski ia telah member sinarnya
pada rembulan. Coba kamu bayangkan, apa jadinya kalau matahari dan bulan
berantem! Pasti gak lucukan.” Komentarnya sambil tersenyum bijak.
“Afwan ustadz, kenapa ustadz berkata demikian?”
“Angga Angga. Mata dan wajah kamu itu gak bisa berbohong, meski
kamu berusaha menutup-nutupinya. Setiap
kali kamu ada masalah, kamu pasti lari kesini, termenung kadang senyam-senyum,
dan semua pasti ada hubungannya dengan gadis penuh misteri itu bukan!?”
Selidiknya
“Maksud Ustadz?”
“kamu dengar suara itukan?” Tanya Ustadz Feri kembali
“Ya, itu suara orang yang mengaji Ustadz, suaranya indah dan
menyejukkan”
“Bukan hanya itu. Tapi tengoklah siapa yang tengah
melantunkan ayat suci Al-Qur’an itu!”
Namun Angga hanya bisa terperangah melihat apa yang ada di
depannya.
“Kenapa, kamu terkejut. Dia adalah salah satu dari beberapa
orang yang hidup dengan banyak
keterbatasan, tapi mereka mampu menjalaninya. Mereka
tersenyum, tertawa, dan bergerak tanpa takut di hina bahkan dijauhi. Kamu tahu
kenapa?”
Namun Angga hanya bisa terdiam dan tertunduk, malu pada
dirinya sendiri.
“Jawabannya hanya satu Angga. Ikhlas!”
Ustadz Feripun menghentikan kalimatnya, ia berjalan
mendekati sebuah pohon tua namun masih berdiri kokoh di depannya.
“Ikhlas, mudah diucapkan namun sulit untuk dilakukan.
Benarkan!”
“Terkadang, kita perlu belajar bukan hanya dari pengalaman
tapi juga dari orang-orang disekeliling kita. Kita bisa belajar tentang
perjuangan dari pemulung, anak-anak jalanan, atau dari asisten rumah tangga
kita. Kitapun bisa belajar tentang keikhdlasan darinya. Butuh keberanian untuk
tetap tegar berdiri tegak ditengah-tengah orang yang jauh lebih beruntung dari
dia yang masih memiliki mata yang bisa melihat, kaki yang bisa berjalan, dan
seluruh anggota tubuh yang berfungsi normal. Tapi, tanpa semua itu dia masih
bisa survive.”
“Ustadz benar. Tapi…..”
Lama Angga terdiam, seolah ragu untuk melanjutkan
kalimatnya. Iapun mengalihkan pandangan kearah hembusan angin yang menggerakkan
dahan pohon tua itu. Dahan dan daunnyapun turut bergerak mengikuti irama
hembusan angin. Hingga saat ia menghela napas dalam, ia memberanikan diri
melanjutkan kalimatnya.
“Kami dipertemukan kembali oleh suatu proyek. Dia berubah,
dia tak seceria dulu. Tatapannyapun datar, seolah tak pernah terjadi sesuatu di
antara kami. Awalnya aku simpatik melihat keadaannya, namun sikapnya yang cuek,
membuat aku kembali membencinya. Aku tersenyum padanya, tapi itu adalah senyum
ejekan karena aku tak sendiri lagi sementara ia, pikirku tak ada seorang
laki-lakipun yang bisa mencintainya melebihi cintaku padanya, dan tak ada
seorang laki-lakipun yang tahan dengan sikapnya selain aku. Sejenak aku merasa
bangga pada diriku, tapi untuk apa.”
Hening.
“Entah kenapa aku bersikap seolah-olah aku ingin menunjukkan
padanya bahwa aku adalah pria hebat dan dia akan menyesal karena telah menjauh
dariku. Apa aku salah? Tapi aku merasa ini setimpal atas semua harapan palsu
yang ia sematkan di hati aku. Tapi sayangnya, tak sedikitpun ia bergeming. Ia
bersikap tenang dan menatap aku seolah-olah kami baru bertemu. Besok, besok aku
harus bertemu dengan dia, bekerja sama,dan aku harus kembali melihat sikapnya
yang membuatku membencinya karena aku harus kembali teringat dengan semua
harapan-harapan itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar